Saya lagi bertaruh dengan beberapa aktivis green energy. Tentang berapa banyak pembangkit listrik tenaga angin di bukit Pabbaresseng, kabupaten Siddereng Rappang, Sulawesi Selatan itu nanti akan menghasilkan listrik.
Anda juga boleh ikut bertaruh lewat likedisway@gmail.com. Pertanyaannya: berapa persen dari kapasitasnyakah akan menghasilkan listrik?
Asumsinya: kapasitas pembangkit itu 75 MW. Kalau kecepatan angin 7 meter/detik kapasitas itu akan tercapai.
Yang kita sama-sama tidak tahu: data riel kecepatan angin di bukit tersebut selama 24 jam.
Tentu investornya lebih tahu kecepatan angin di sana. Bagi yang tebakannya ingin lebih tepat boleh mencoba cari data ke badan meteorologi di Sidrap (Siddenreng Rappang) atau Makassar. Siapa tahu punya. Setidaknya angka kasar.
Saya sendiri sudah bisa umumkan tebakan saya. Sekarang. Pembangkit itu nanti hanya akan menghasilkan listrik 25 MW. Hanya 30 persen dari kapasitas.
Tentu sesekali akan menghasilkan listrik sesuai kapasitasnya tapi hanya untuk beberapa jam sehari. Ketika kecepatan angin sedang tinggi.
Saya benar-benar tidak tahu berapa jam sehari ada angin cepat di sana. Namun kita tahu bahwa angin kita itu angin-anginan. Bisa saja di bukit Pabbaresseng itu anginnya lebih bagus dari lokasi lain sehingga tebakan saja meleset.
Tapi seorang aktivis yang sudah menyampaikan tebakannya kepada saya mengatakan: hanya akan menghasilkan 20 MW saja. Bahkan bisa di bawah itu.
“Tebakan pak Dahlan terlalu optimistis,” katanya.
Saya tahu tebakan saya memang saya optimis-optimiskan. Untuk menyenangkan. Agar semangat ber-green energy jangan patah.
Dari pengalaman saya meninjau pembangkit listrik di berbagai negara maju memang seperti itu. Sulit mencapai 30 persennya. Bahkan ada yang hanya 17 persennya saja.
Kita doakan bukit Pabbaresseng beda dengan dunia selebihnya.
Itulah mahalnya investasi listrik tenaga angin. Investasi Rp 2 triliun tidak bisa menghasilkan 75 MW melainkan hanya sekitar 20 MW. Berarti, rielnya, hitungan investasi itu mencapai Rp 100 miliar permegawatt. Empat kali lipat lebih mahal dari investasi pembangkit PLTU batubara.
Tapi kelebihannya jangan dilupakan: ini paling ramah lingkungan. Dan tidak perlu beli bahan bakar sama sekali. Bahan bakarnya sepenuhnya dari Tuhan YME.
Saya tidak tahu bagaimana bunyi kontrak jual belinya dengan PLN. Apakah berdasar kapasitas atau berdasar listrik yang nyata-nyata masuk ke PLN. Tentu yang terakhir itu mestinya. Karena PLN pasti tidak mau dirugikan.
Yang saya tahu (dari pemberitaan Harian Fajar), PLN harus membeli listrik dari proyek ini USD 11 cent/kWh. Atau sekitar Rp 1.500/kWh. Cukup mahal kalau dibandingkan dengan PLN membeli listrik dari PLTU batubara. Lebih mahal sekitar 50 persennya. Tapi batubara merusak lingkungan.
Berarti PLN membeli listrik dari proyek ini lebih mahal dari PLN menjual listrik ke masyarakat.
Investasi ini memang sangat mengagumkan. Biaya investasinya untuk 75 MW tapi uang yang didapat hanya dari penjualan listriknya yang sekitar 20 MW. Itulah sebabnya kontrak pembelian listrik ini (disebut PPA) berlaku selama 30 tahun.
Hanya perusahaan yang benar-benar amat dalam sakunya dan amat panjang nafasnya bisa melakukan investasi ini.
Perkiraan saya investasi ini akan kembali dalam sembilan atau 12 tahun. Atau lebih cepat dari itu karena bunga bank di Amerika sangat rendah. Apalagi untuk proyek mulia seperti ini. Bisa hanya sepertiga dari bunga bank di Indonesia.
Jangka panjang proyek ini sangat menguntungkan juga. Setelah investasi kembali masih ada waktu kontrak 20 tahun lagi.
Kita tidak akan bisa melawannya. Tanpa ada kebijakan keperpihakan pada pencipta-pencipta teknologi dari putra bangsa sendiri.
Kebijakanlah yang akan menentukan nasib kita: jadi pemain atau penonton.(dis)
03 March 2018
Oleh : Dahlan Iskan
PRANALA
- Antara Bonek dan Pengabdian
- Berdoa Agar Tak Bersiul
- Tebak-Tebakan Tak Berhadiah
- Kepastian yang Tidak Pasti
- Tak Cukup Hanya Terpesona
* Dahlan Iskan adalah seorang yang ulet, gila kerja, namun tetap bersahaja. Karirnya melejit, dari seorang wartawan surat kabar lokal di Samarinda hingga diangkat menjadi Menteri di jaman SBY. Meskipun menjadi menteri, Ia tetap memakai sepatu ket. Cara bicaranya pun ceplas ceplos. Ia juga dekat dengan karyawan bawahannya, bahkan kadang ia mengajak makan bareng mereka.
Post a Comment
Post a Comment