Nyi Tjondrolukito, Legenda Kesenian Jawa Abad 20

Nyi Tjondrolukito adalah pesinden dalam genre gamelan Jawa gaya Yogyakarta, yang dapat dikatakan menjadi legenda dalam kesenian Jawa abad ke-20. Selama hidupnya, Nyi Tjondrolukito teguh menjaga nama baik pesinden. Ia mengembalikan peran pesinden sebagai seniman sejati dan membaktikan seluruh hidupnya untuk menghidupkan kesenian karawitan. Untuk mengenangnya, ruas jalan di selatan Monumen Yogya Kembali diberi nama menurut namanya.

Nyi Tjondrolukito terlahir dengan nama Turah, di Sinduadi, Mlati, Sleman, 20 April 1920 dan meninggal di  Jakarta, November 1997. Wanita asal Dusun Pogung ini mulai berlatih olah vokal dan menari di Dalem Danurejan pada usia 12 tahun. Setelah diangkat sebagai seniman kraton, ia diberi nama Padhasih oleh Sri Sultan HB VIII. "Condrolukito" adalah nama suaminya.

Pada masa awal kemerdekaan, ia mulai bernyanyi untuk RRI. Sejak itulah ia mulai dikenal kalangan luas. Uyon-uyon adalah bentuk kesenian yang paling sering dinyanyikannya, selain mengiringi pertunjukan wayang kulit ataupun iringan tarian.

Hingga tutup usia di tahun 1997, Nyi Tjondrolukito telah menciptakan setidaknya 200 tembang  dan suaranya telah diabadikan dalam lebih dari 100 album rekaman kaset. Tembang ciptaannya yang terkenal antara lain Uler Kambang dan Kutut Manggung. Namun, ia juga menggubah lirik tembang semisal Dhandanggula. Selain berkarya penuh sebagai penggubah tembang, Nyi Tjondrolukito juga mendirikan Sekolah Tari Ngesti Budaya, bekerja sebagai seorang abdi Keraton Ngayogyakarta, dan tenaga honorer di RRI Jakarta.

Kegemaran membaca tercermin jernih pada lirik-lirik tembang ciptaannya. Nyi Tjondrolukito, yang hanya tamatan sekolah rakyat setingkat sekolah dasar ini, ingin agar lagunya memiliki pesan kebaikan dan moral.

“Dalam Uler Kambang, ia mengutarakan bagaimana bangsa Indonesia adalah bangsa yang luhur dengan Pancasila-nya. Pemimpin juga harus mengayomi rakyat,” kata Prima, anak sulung pengamat pendidikan St. Kartono dan sekaligus anak menantu Nyi Tjondrolukito.

Prima berpendapat, sosok-sosok seperti Nyi Tjondrolukito di daerah-daerah belum banyak terangkat. Apalagi terdokumentasi dalam buku. Mereka hanya dikenal di tingkat daerah. Padahal pasti banyak cerita menarik sekaligus pesan moral yang bisa menjadi teladan bagi masyarakat Indonesia kini dan mendatang.

PRANALA