Kalau Anda bisa paham tulisan seri 4 ini, kecerdasan Anda pasti di atas rata-rata. Inilah bagian yang paling rumit untuk bisa ditulis dengan sederhana: sistem kelistrikan.
Misalnya. Mengenai ketidakpastian berapa pembangkit listrik tenaga angin di Pabbaresseng itu bisa memproduksi listrik. Apakah 75 MW? Ataukah hanya 30 MW? Atau bahkan hanya 20 MW?
Tidak ada kepastian itu. Tergantung angin. Ini sangat-sangat menyulitkan PLN.
Apalagi masih ada ketidakpastian yang lain: timingnya. Jam berapa bisa kirim listrik dalam jumlah berapa. Jam berapa naik berapa. Jam berapa turun berapa.
Semua tidak pasti. Semua tergantung jam kedatangan angin.
Tidak pasti jumlahnya, tidak pasti pula jam pengirimannya.
Lebih sulit lagi karena ini: Sulsel dalam posisi kelebihan listrik. Padahal listrik dari Pabbaresseng ini harus dibeli dengan harga lebih mahal. Ini berarti PLN Sulsel harus mematikan beberapa pembangkit.
Berapa pembangkit yang harus dimatikan? Di sinilah sulitnya.
Karena serba tidak pasti. Kalau pembangkit yabg harus dimatikan itu milik PLN sendiri tidak sulit. Meski tetap rugi secara finansial. Tapi kalau pembangkit itu ternyata milik swasta yang berdasar kontrak listriknya harus dibeli juga, kesulitan PLN bertambah.
Setahu saya banyak pembangkit di Sulsel milik PLN sendiri. Masih baru-baru pula.
Masalahnya pembangkit itu adalah jenis PLTU batubara. Tidak bisa mendadak dimatikan. Tidak bisa pula mendadak dihidupkan.
Kalau toh ada yang bisa dimatikan, masih ada satu kepusingan lagi: Yang kapasitas berapa yang dimatikan? Katakanlah yang kapasitas 50 MW. Misalnya satu unit PLTU yang ada di Barru itu. Tapi jangan-jangan ketika yang 50 MW sudah terlanjur dimatikan tidak ada angin di Pabbaresseng.
Masih banyak kepusingan lain. Misalnya yang terkait pengaturan beban puncak (saat masyarakat paling banyak menggunakan listrik, umumnya antara pukul 17:00 sampai pukul 22:00. Kalau angin bisa dipastikan bertiup kencang pada kurun waktu tersebut, tentu sangat membantu. Tapi siapa yang bisa memerintahkan angin agar hanya bertiup pada jam itu?
Begitu banyak pekerjaan dan pemikiran yang harus dilakukan orang PLN untuk menerima kehadiran pembangkit baru dua tiga bulan lagi itu.
Atau jangan-jangan orang PLN tidak pusing. Masa bodoh. Toh bukan uang dia. Ini kan uang perusahaan.
Sikap masa bodoh itulah yang akan berakibat pada “biarlah. Produksi saja listrik sebanyak-banyaknya. Kalau tidak digunakan yang rugi kan perusahaan. Bukan kami. Kami kan hanya disuruh.”
Belum lagi masih ada kepusingan lain yang lebih rumit. Masyalah frekuensi, masalah transmisi dan masalah teknis lainnya. Tapi untuk apa saya mengajak pembaca untuk ikut pusing?
Kita nikmati sajalah pemandangan indah 30 penari langit bule di Pabbaresseng itu. Yang begitu agung.
Tingginya menjulang 120 meter. Panjang baling-balingnya saja 54 meter.
Kita nikmati saja juga 20 penari langit bule lainnya di Jeneponto itu. Lebih tinggi lagi. Dan rentang bilahnya 60 meter. Berputar di langit begutu anggunnya.
Hanya dengan melihat putaran baling-baling listrik tenaga anginnya saja setidaknya perasaan kita sudah bisa lebih damai.
04 March 2018
Oleh : Dahlan Iskan
PRANALA
- Antara Bonek dan Pengabdian
- Berdoa Agar Tak Bersiul
- Tebak-Tebakan Tak Berhadiah
- Kepastian yang Tidak Pasti
- Tak Cukup Hanya Terpesona
* Dahlan Iskan adalah seorang yang ulet, gila kerja, namun tetap bersahaja. Karirnya melejit, dari seorang wartawan surat kabar lokal di Samarinda hingga diangkat menjadi Menteri di jaman SBY. Meskipun menjadi menteri, Ia tetap memakai sepatu ket. Cara bicaranya pun ceplas ceplos. Ia juga dekat dengan karyawan bawahannya, bahkan kadang ia mengajak makan bareng mereka.
Post a Comment
Post a Comment