Mengenal Lebih Dekat Ulil Abshar Abdalla

Ulil Abshar-Abdalla (Lahir: 1967) dikenal sebagai salah satu tokoh islam liberal yang yang berafiliasi dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Ulil lahir dan dibesarkan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Ayahnya Abdullah Rifa'i adalah pengelola pesantren Mansajul Ulum di Pati. Sementara itu mertuanya adalah Kyai Mustofa Bisri dari pesantren Raudlatut Talibin, Rembang.

Ulil dulu dikenal dengan gaya bicaranya yang ngegas. Kini, ia sering muncul dengan pengajian-pengajian kitab di Facebook plus ceramah yang kalem.

Awal mula gebrakan Ulil yang membuat geger umat islam adalah tulisannya yang berjudul "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam". Tulisan ini hadir di Kompas pada 18 September 2002. Dalam tulisan ini ia mengkritik bagaimana Islam telah dijadikan monumen mati dan tidak mengikuti perubahan zaman.

Salah satu poin kritik pedasnya adalah mendekonstruksi konsep hukum Tuhan. Hukum yang selama ini diartikan sebagai hukum Tuhan menurutnya adalah buah dari tafsir dan kebudayaan pada masanya. Misalnya hijab, potong tangan, rajam, jenggot, jubah dan lainnya.

"Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari'ah, atau tujuan umum syariat Islam," tulis Ulil.

Kritik itu sontak mengundang reaksi dari umat Islam dan ulama. Forum Ulama Umat Islam adalah salah satu yang bereaksi keras. Mereka mengeluarkan fatwa mati bagi Ulil. Ulil pun mendapat banyak ancaman setelah fatwa itu keluar.

Reaksi juga datang dari A. Mustofa Bisri, mertua Ulil. Gusmus begitu sapaan akrabnya membalas kritikan Ulil itu lewat tulisan berjudul "Menyegarkan Kembali Sikap Islam" di koran yang sama dua minggu setelah tulisan Ulil terbit.

Ada tiga poin kesalahan Ulil yang dikemukakan Gusmus, pertama Ulil memilih media yang salah, kedua Ulil menulis dengan geram dan nafsu, ketiga Ulil menulis itu pada bulan Ramadan.

“Semua orang tahu, semangat yang berlebihan kadang menyeret orang kepada perbuatan bodoh,” tulis Gusmus.

Agaknya kritik yang pernah ditulis mertuanya, didengarkan dengan baik oleh Ulil. Semangat muda yang menggelora saat ia menulis di Kompas dulu kini sudah tidak lagi nampak.

Pada Hari Minggu, tanggal 30 April 2017, ia memposting tulisan di laman Facebook-nya berjudul "Tiga Sikap Atas Kitab Suci". Dalam tulisan ini ia menjelaskan bahwa dalam metoda pembacaan atas Kitab Suci Al-Quran itu setidaknya ada tiga, yaitu pendekatan literalis, pendekatan progresif, dan pendekatan ketiga.

Pendekatan literalis adalah pendekatan yang cenderung memenangkan ayat-ayat Kitab Suci dalam keadaan apapun. "Apa yang dikatakan oleh ayat harus diikuti secara harafiah, apa adanya. You take it or leave it, nothing in between!", tulis Ulil.

Pendekatan progresif berpandangan bahwa ayat Kitab Suci harus ditafsir ulang sesuai perkembangan zaman (bukan diubah redaksinya, seperti dituduhkan oleh kalangan yang tak sepakat dengan pendekatan ini).

Pendekatan ketiga mengambil jalan tengah. Pendekatan ini tidak langsung buru-buru memutuskan bahwa segala hal yang ada dalam Kitab Suci harus diikuti dan dilaksanakan apa adanya secara “letterlijk“, harafiah. Tetapi pendekatan ini juga tidak buru-buru berkeputusan bahwa segala hal dalam Kitab Suci, jika bertentangan dengan perkembangan zaman, harus dipahami ulang.

Tulisannya itu mengkritisi pendekatan literalis dan progresif, seraya memuji pendekatan ketiga yang tak ia beri nama. Ini adalah fase penting dalam kehidupan Ulil, yang mulai menoleh kembali Nahdhatul Ulama. Sementara itu, pendekatan progresif saat ini masih banyak yang menganutnya, terutama di komunitas Utan Kayu, markas Jaringan Islam Liberal.

Sejak itu, Ulil yang garang tidak lagi terdengar. Pada bulan Ramadan 2017, Ulil mulai membuat kajian online kitab-kitab yang lebih filosofis, salah satunya kitab Ihya.

Perubahan ini sebenarnya telah terjadi sebelumnya. Pada Februari 2017, Ulil menjelaskan perubahan itu lewat status Facebook. Ia mengakui ada fase di mana ia menjadi orang yang arogan dalam berpendapat. Namun semua itu semata-mata karena kejengkelannya pada pandangan keagamaan yang radikal dan fundamentalistik.

“Fase arogansi yang pernah menjangkiti saya ini mungkin dipengaruhi juga oleh semacam 'youth enthusiasm', semangat kemudaan yang menggebu-gebu, fase yang alamiah dalam perkembangan psikologi seseorang,” tulis Ulil dalam laman Facebook-nya.

Faktor lain adalah soal kemapanan usia. Dalam suatu wawancara, Ulil sempat mengatakan bahwa "life begins at 40". Pada usia itu, kata Ulil, orang memasuki pada usia yang mapan. Watak orang akan benar-benar menetap pada usia itu. Begitu pula yang dirasakan oleh Ulil.

PENDIDIKAN

Ulil menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (wakil Rois Am PBNU periode 1994?1999). Pernah menjadisantri di pesantren Mansajul 'Ulum, Cebolek, Kajen, Pati. 

Dia mendapat gelar sarjananya di Fakultas Syariah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Saat ini ia sedang menempuh program doktoral di Universitas Boston, Massachussetts, AS.

KEORGANISASIAN

Ulil pernah menjadi Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, sekaligus juga menjadi staf peneliti di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta, serta Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). 

Ia dikenal karena aktivitasnya sebagai Koordinator Jaringan Islam Liberal. Dalam aktivitas di kelompok ini, Ulil menuai banyak simpati sekaligus kritik. Atas kiprahnya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam ini, Ulil disebut sebagai liberal anti keislaman selepas Cak Nur (Nurcholish Madjid).

KARIER POLITIK

Ulil menjabat sebagai Ketua Divisi Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengurus Pusat Partai Demokrat masa jabatan Ketua Umum Anas Urbaningrum.

PRANALA: