Akhirnya Linus Torvalds, si pencipta Linux yang fenomenal itu angkat bicara menyoal kegeramannya atas perkembangan teknologi sosial media yang booming akhir-akhir ini. Hal ini bisa jadi merupakan ungkapan kekecewaan setelah berbagai kritik dan blokir atas media sosial tidak ditanggapi secara serius oleh para bohir sosmed.
Ungkapan Torvalds itu disampaikan setelah kehebohan kasus Timothy J. Aveni dan Owen Anderson. Tidak ada penjelasan apakah hal itu dimaksudkan sebagai dukungan atas kedua pegawai Facebook yang hengkang karena protes mereka kepada Bos Facebook yang tidak tegas dalam menyikapi hasutan tindak kekerasan yang disampaikan Presiden AS Donald Trump.
"Aku sungguh benci dengan media sosial modern, Twitter, Facebook, Instagram. Itu adalah wabah penyakit. Sepertinya untuk memicu sikap yang buruk," kata Torvalds dalam sebuah wawancara dengan Linux Journal.
Melalui kanal CNET, Torvalds mengatakan, "Model Like dan Sharing itu hanyalah sampah. Tidak ada upaya dan tidak ada kontrol kualitas. Faktanya malah diarahkan untuk memundurkan kontrol kualitas".
Media sosial disebutnya hanya didesain untuk memicu respons emosional. Ia juga menyinggung maraknya hoak, penghinaan, terorisme dan kebiasaan buruk lainnya di media sosial adalah karena ada anonimitas penggunanya.
Menurut Torvalds, seharusnya orang tidak boleh membagikan sesuatu ke media sosial tanpa mengungkapkan identitasnya. "Tambah runyam lagi jika kalian bahkan tidak menaruh nama asli kalian di sampah kalian atau membagikan sampah itu ke orang lain melalui fitur share dan like", ketus Linus.
Belum ada tanggapan dari para media sosial tersebut mengenai kritikan keras Linus. Namun belakangan, medsos memang sering menjadi sasaran kritik dari berbagai kalangan.
Berbagai liputan media internasional memperlihatkan kekuatiran akan pengaruh besar yang dimiliki Facebook atas pengguna dan karyawannya. Juga terhadap bagaimana sebuah berita yang sahih maupun yang hoax disebarluaskan melalui facebook.
Hal-hal esensial yang sering dibahas adalah persoalan privasi pengguna, seperti penggunaan tombol "like" yang tersebar luas ke pihak ketiga dan kemungkinan disimpannya data pengguna secara tidak terbatas. Perangkat lunak pengenalan wajah secara otomatis juga sangat mengkhawatirkan banyak pihak.
Dikutip dari mashable.com, jurnalis New York Times, Maggie Haberman menggambarkan bagaimana Twitter menjadi semakin buruk dalam banyak hal selama bertahun-tahun. Twitter telah berkembang menjadi sumber yang tidak dapat diandalkan yang dipenuhi dengan interaksi beracun dan kata-kata pedas.
Twitter sekarang menjadi sumber kemarahan bagi banyak pengguna. Ini adalah satu-satunya platform di mana orang merasa bebas untuk mengatakan hal-hal yang tidak pernah mereka katakan ketika mereka berhadapan muka secara langsung.
Majalah Time bahkan pernah merilis tulisan berjudul bombastis: "Mengapa Instagram Adalah Media Sosial Terburuk untuk Kesehatan Mental".
Artikel itu mengungkapkan sebuah hasil survei yang diikuti oleh 1500 remaja. Platform berbasis foto ini disatu sisi bermanfaat sebagai media untuk mengungkapkan ekpresi dan identitas diri. Akan tetappi disisi lain instagram juga meningkatkan kecemasan dan depresi karena berbagai bulliying dan rasa takut ketinggalan jaman.
Post a Comment
Post a Comment