Cowboy hilang karena sapi. Sapi hilang karena kereta api. Cowboy dan sapi ketemu lagi: di dekat rel kereta api. Tidak jauh dari Dodge City. Kota kecil di pedalaman Kansas. Yang sejak lama bergelar ‘ibukotanya’ Cowboy Amerika.
Hari itu, Jumat minggu lalu saya ke situ: melihat model peternakan pasca Cowboy.
Luar biasa. 40.000 ekor sapi berada di satu peternakan. Jumlah itu sengaja diputuskan segitu. Untuk mencapai skala yang paling ekonomis.
Ketika menulis ‘40.000 ekor’ ini saya tersenyum sendiri. Ingin tahu bagaimana Google menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.
Satuan sapi di Amerika bukan disebut ‘ekor’ tapi ‘kepala’. Tapi saya tidak mungkin menulis –demi Google– ‘40.000 kepala’ sapi di peternakan ini.
Pembaca Disway akan mengira yang ada di peternakan itu hanya kepalanya…
Lahan peternakan itu dipetak-petak. Ada pagar kayu sebagai penandanya. Pagarnya pendek saja. Sekedar tidak bisa diloncati sapi.
Tidak ada kesan modern. Atau mewah. Pagar kayunya juga tidak rapi. Pemetaannya juga tidak harus lurus. Fungsional saja.
Luas petak tidak sama. Disesuaikan dengan jumlah sapi di dalamnya. Jumlah itu didasarkan pada umur dan jenisnya. Bukan didasarkan mana penggemar Liverpool dan mana penggila Real Madrid.
Sapi jenis Angus, misalnya tidak dicampur dengan sapi limousin. Atau sapi Texas. Dari sekitar 250 jenis sapi di dunia hanya 16 jenis yang umum diternakkan di Amerika.
Begitu besarnya peternakan ini. Untuk mengelilinginya harus pakai mobil. Saya diantar oleh David. Manajer di situ. Sambil ngobrol tentang peternakan ini. Pertanyaan saya, dia jawab. Padahal ini peternakan swasta.
Beberapa jawaban lagi dia kemukakan di kantornya. Sambil minta saya melihat ke layar komputer. Ada denah. Ada angka. Ada nama di layar itu.
Saya juga diantar meninjau pabrik makanan ternaknya. Di sebelah kandang. Juga ke gudang bahan baku. Ada 10 jenis bahan baku di gudang itu. Yang akan dicampur di pabrik: jagung, jerami, gandum, oat, sorgum, alfalfa dan lainnya. Hari itu saya juga mengunjungi persawahan alfalfa. Akan saya ceritakan tersendiri.
Apakah dicampur ‘obat’ penggemuk? ‘Tidak sama sekali,’ kata David. Makanan sapinya murni dari tumbuhan dan biji-bijian. Ini sesuai dengan standar daging sapi di peternakan itu.
Adonan itu mereka sendiri yang menentukan. Disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan sapi. Saya lihat truk-truk raksasa masuk ke gudang itu. Membawa bahan baku.
Yang saya kaget: sapi itu bukan milik peternakan. ”Kami hanya mengelola,” kata David. ”Sapi-sapi itu milik peternak. Yang dititipkan di sini,” katanya.
Tugas peternakan itu sudah tertulis dalam kontrak: memberi makan dua kali sehari. Jamnya sudah ditentukan.
Cara makannya biasa. Di luar pagar itu disediakan tempat makan. Seperti talang memanjang. Sapi tinggal menjulurkan kepalanya lewat sela-sela pagar. Kalau sapinya sakit perusahaan mengobatinya. Kalau sudah waktunya dijual David menghubungi pemiliknya.
Pembeli sudah tahu: tanggal berapa ada sapi berapa siap dijual.
Peternakan tidak bertugas menjual. ”Kami hanya membantu informasi,” ujar David. ”Ini ada yang mau membeli dengan harga sekian. Mau nggak?,” katanya.
Pembelinya adalah perusahaan pengepakan daging. Tidak di bawah naungan peternakan ini.
Biasanya peternak setuju saja. Peternakan sudah membantu mencarikan harga terbaik. Tanpa memungut komisi.
Bahkan, kata David, peternakan sangat minim menarik biaya. Agar peternaknya yang lebih senang. Lantas terus mempercayainya.
Bagaimana kalau ada sapi yang mati? ”Itu resiko pemilik sapi,” kata David. ”Tapi kan ada asuransi,” tambahnya.
Yang penting, peternakan sudah menjalankan proses yang benar.
Saya sudah lama mendengar praktik peternakan seperti ini. Begitulah idenya mengapa enam tahun lalu saya lontarkan ini: perlunya peternakan kolektif.
Tidak ekonomis lagi setiap rumah memelihara satu atau dua ekor sapi. Tapi baru sekarang ini saya melihatnya langsung.
Peternakan model ini banyak sekali di Amerika. Sejak peternak tidak bisa lagi melepaskan sapi di padang praire.
Rel kereta api membelah praire itu. Di sebelah peternakan ini. Lalu manusia ikut menjarah padang praire. Dibuatlah jalan-jalan. Praire terkotak-kotak.
Selesailah era Cowboy.
Untuk memelihara 40.000 ekor sapi ini hanya diperlukan 40 karyawan. Sebagian besar di bagian Cowboy.
Maksudnya: pengantar makanan. Pakai kendaraan. Bukan kuda. Boleh pakai topi Cowboy. Boleh juga seperti David itu: topi nonton bola.
Yang jelas tidak ada yang bawa pistol. Kecuali yang ia simpan di dalam celananya…(dis)
Sumber: disway.id
* Dahlan Iskan adalah seorang yang ulet, gila kerja, namun tetap bersahaja. Karirnya melejit, dari seorang wartawan surat kabar lokal di Samarinda hingga diangkat menjadi Menteri di jaman SBY. Meskipun menjadi menteri, Ia tetap memakai sepatu ket. Cara bicaranya pun ceplas ceplos. Ia juga dekat dengan karyawan bawahannya, bahkan kadang ia mengajak makan bareng mereka.
Post a Comment
Post a Comment